|
5 Jurus Sakti Menjadi Pemimpin Yang Berpengaruh |
Mendapat posisi lebih tinggi, siapa yang tidak senang. Namun, setelah eforia pengangkatan selesai, sejumlah tugas yang berderet di depan mata. Termasuk upaya untuk mengatur anak buah yang tentu saja akan semakin 'membengkak' jumlahnya.
Perubahan itu tentunya akan berdampak pada sang manajer baru.
"Biasanya yang tidak siap pada seorang pemimpin baru adalah dalam hal mental dan sikap untuk menghadapi bawahan yang jumlahnya bertambah," kata Leksana Teguh Hartawan, managing partner Strategic Solution Center, konsultan yang menangani transformasi organisasi dan sumber daya manusia.
Ketidaksiapan mental tersebut, kata Leksana, akan memberi efek negatif, seperti kemungkinan munculnya konflik antara manajer baru dan anak buah, menurunnya moral dari bawahan, dan merosotnya kinerja para staf.
Konflik muncul karena adanya salah paham antara manajer baru dan bawahan. Karena, kata Leksana, kalau biasanya yang dikelola hanya satu atau dua orang, kini mesti menghadapi banyak orang.
Sewaktu membawahi satu staf sang pemimpin bisa menyelaminya hingga pribadi dan kebiasaan bawahan. Namun, setelah jumlahnya banyak, pengetahuan dan pendekatan kepada bawahan tak lagi bisa seintensif dulu.
Pendelegasian pekerjaan pada sejumlah orang, sudah tentu tak semudah mendelegasikannya kepada sedikit bawahan. Kendala akan dijumpai, misal menghadapi orang yang suka menunda pekerjaan yang tentunya mengesalkan hati sang manajer.
Untuk menghadapi semua itu, kata Leksana, bukan pada tempatnya meluapkan emosi atau menjadi pemimpin yang otoriter. "Semua itu akan menimbulkan kebencian dari para bawahan," katanya.
Menghadapi bawahan yang suka mengulur waktu penyelesaian pekerjaan, bisa ditentukan batas waktu penyelesaian yang dibuat secara bertahap. Misal menyerahkan tugas yang seharusnya bisa diselesaikan Jumat, maka untuk mengatasi penguluran waktu tugas tersebut diwajibkan untuk menyerahkan laporan sementara pada Selasa, kemudian Rabu ada perbaikan, Kamis menyerahkan laporan terakhir dan Jumat jadi.
Yang dibutuhkan adalah, kata Leksana, menjadi sosok pemimpin yang mempunyai pengaruh, sehingga bisa disegani bawahan. Untuk menjadi pemimpin yang bisa menjadi panutan, kata Leksana, yang mesti diperhatikan adalah:
- Commitment.
Dalam hal ini pemimpin mesti mampu untuk merealisasikan janji yang telah diberikan kepada anak buah jika target sudah tercapai.
- Consistent.
Pemimpin mesti bisa tetap menjalankan prinsip atau aturan yang telah dibuat.
- Competence.
Seorang atasan jangan sampai terlihat bodoh di mata anak buah. Jika tak bisa mengetahui suatu masalah secara detail, setidaknya mengetahui garis besar permasalahannya. Competence bisa ditunjukkan lewat keahlian, pengetahuan dan kualitas profesional.
- Komunikasi.
Untuk bisa menjadi sukses, seorang pemimpin juga mesti piawai untuk berkomunikasi. Yaitu mampu berbicara dan memberi pengaruh serta keyakinan bagi anak buah.
- Berpikir sistematik.
Seorang pemimpin dituntut untuk bisa berpikir secara sistematik. Seorang pemimpin yang baik diharapkan tidak melihat sesuatu dari hal yang kecil, sebaliknya melihat hal-hal yang besar.
Misal ada laporan konsumen keracunan kecap setelah mengonsumsi kecap yang diproduksi. Pemimpin yang mampu berpikir sistematik akan langsung tahu tahapan langkah yang mesti dilakukan.
(ltc)
sumber gb : http://fourh.ucdavis.edu/4hresource/clipart/people/pics/leader.gif
|
EmoticonEmoticon