Transformational Leadership |
Banyak yang bisa di ulas ketika berbicara mengenai kepemimpinan. Terlebih skill leadership yang belakangan ini menjadi sorotan adalah "Transformational Leadership" yang mengedepankan nilai sosial, moral, dan transformasi jangka panjang.
Jika me-review berdasarkan beberapa literatur dapat dikatakan bahwa esensi kepemimpinan adalah upaya seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diinginkan olehnya. Dalam rangka mempengaruhi orang lain, seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan gaya kepemimpinan yang akan digunakannya.
Menurut pandangan saya sendiri esensi dari Transformational Leadership itu ;
"Merupakan gaya kepemimpinan yang berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan untuk mendukung visi dan tujuan organisasi. Melalui transformasi nilai-nilai tersebut, diharapkan hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim saling percaya diantara anggota organisasi"
Ada hal yang sangat menarik perhatian saya ketika membuka sebuah artikel di kompasiana mengenai ulasannya ini, yang mungkin saja Anda akan menyukainya. Untuk lebih jelasnya berikut ulasannya yang saya kutip langsung dari situs kompasiana dan ditulis oleh Frans Indrapradja pada tanggal 31 Maret 2014 dalam artikelnya berjudul "Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)".
Jika me-review berdasarkan beberapa literatur dapat dikatakan bahwa esensi kepemimpinan adalah upaya seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar berperilaku sesuai dengan yang diinginkan olehnya. Dalam rangka mempengaruhi orang lain, seorang pemimpin mempunyai banyak pilihan gaya kepemimpinan yang akan digunakannya.
Menurut pandangan saya sendiri esensi dari Transformational Leadership itu ;
"Merupakan gaya kepemimpinan yang berupaya mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan untuk mendukung visi dan tujuan organisasi. Melalui transformasi nilai-nilai tersebut, diharapkan hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim saling percaya diantara anggota organisasi"
Ada hal yang sangat menarik perhatian saya ketika membuka sebuah artikel di kompasiana mengenai ulasannya ini, yang mungkin saja Anda akan menyukainya. Untuk lebih jelasnya berikut ulasannya yang saya kutip langsung dari situs kompasiana dan ditulis oleh Frans Indrapradja pada tanggal 31 Maret 2014 dalam artikelnya berjudul "Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)".
Transformational Leadership. Kepemimpinan transformasional mencakup dua unsur yang bersifat hakiki, yaitu “relasional” dan “berurusan dengan perubahan riil”. Kepemimpinan transformasional terjadi ketika seorang (atau lebih) berhubungan dengan orang-orang lain sedemikian rupa sehingga para pemimpin dan pengikut saling mengangkat diri untuk sampai kepada tingkat-tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi (Burns, 1978, hal. 20).
Kepemimpinan transformasional ini adalah dalam rangka perubahan status quo lewat nilai-nilai yang dianut para pengikut (konstituen) dan pandangan mereka terkait dengan tujuan yang lebih tinggi. Seorang pemimpin transformasional mengartikulasikan masalah-masalah yang ada dalam sistem yang berlaku dan dia mempunyai visi yang sangat mendesak berkenan dengan apa dan bagaimanakah organisasi atau masyarakat yang baru itu. Visi baru tentang organisasi atau masyarakat ini secara erat terkait dengan nilai-nilai yang dianut oleh sang pemimpin dan para pengikutnya.
Visi ini mewakilkan suatu ideal yang “sama dan sebangun” dengan sistem-sistem nilai mereka. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional pada akhirnya merupakan suatu praktek moral dalam artian meningkatkan standar-standar perilaku manusia. Jadi, kepemimpinan transformasional mempunyai dimensi moral juga, karena mereka yang terlibat di dalamnya “dapat diangkat kepada diri mereka yang lebih baik (Burns, 1978, hal. 462).
Artikulasi tentang dimensi moral ini dengan tajam membedakan kepemimpinan transformasional dari pandangan-pandangan kepemimpinan yang dipromosikan oleh para ahli manajemen. Hal ini berarti bahwa tes yang paling mendasar terhadap kepemimpinan transformasional dapat merupakan jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah perubahan-perubahan yang diadvokasikan oleh sang pemimpin sungguh memajukan atau malah menghambat perkembangan organisasi atau masyarakat?”
Seorang pemimpin transformasional juga cekatan dalam membingkai kembali isu-isu; mereka menunjukkan bagaimana masalah-masalah atau isu-isu yang dihadapi para pengikutnya dapat dipecahkan apabila mereka mendukung dan mewujudkan visi sang pemimpin tentang masa depan.
Seorang pemimpin transformasional juga mengajar para pengikutnya bagaimana mereka sendiri dapat menjadi pemimpin-pemimpin dan mendorong mereka untuk memainkan peranan yang aktif dalam gerakan perubahan. Contohnya adalah bagaimana seorang Nelson Mandela memimpin perubahan di Republik Afrika Selatan, dan merupakan presiden pertama negara itu yang dipilih secara demokratis (lihatlah tulisan saya yang berjudul, “Mengenang Seorang Pemimpin Besar: Nelson Mandela [1918-2013], dalam Kompasiana tanggal 5 Maret 2014).
Bagi Burns, Mahatma Gandhi secara khusus merupakan gambaran ideal dari seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan Gandhi mengedepankan nilai “non-kekerasan” dan nilai-nilai lainnya yang bersifat egalitarian, nilai-nilai mana sungguh memberikan dampak perubahan dalam diri orang-orang dan lembaga-lembaga di India.
Kepemimpinan Gandhi sungguh memiliki tujuan secara moral, karena tujuannya adalah memenangkan kemerdekaan pribadi bagi orang-orang sebangsanya dengan membebaskan mereka dari penindasan oleh pemerintah kolonial Inggris. Kepemimpinan Gandhi diangkat ke atas, dalam artian dia mengangkat para pengikutnya ke tingkat moral yang lebih tinggi dengan melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas non-kekerasan guna mencapai keadilan sosial. Dengan melakukan begitu, Gandhi meminta pengorbanan dari para pengikutnya, bukannya sekadar mengobral janji-jani.
Karya Burns ini mencerahkan kita supaya mampu melihat bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah mengenai transformasi. Kepemimpinan transformasional adalah suatu relasi antara para pemimpin dan para pengikut mereka di mana kedua pihak diangkat ke tingkat moral yang lebih tinggi. Kepemimpinan transformasional adalah tentang para pemimpin dan pengikut-pengikut mereka yang terlibat dalam proses perubahan.
Memang kepemimpinan kharismatis saling berhubungan secara erat dengan kepemimpinan transformasional (lihat tulisan saya mengenai hal ini dalam Kompasiana tanggal 13 Februari 2014). Pada dasarnya semua “transformational leaders” adalah “charismatic leaders”, namun tidak semua “charismatic leaders” adalah “transformational leaders” (lihat coretan saya pada bagian akhir tulisan saya yang berjudul “Sukarno !!!”, dalam Kompasiana tanggal 26 Januari 2014).
Seorang pemimpin transformasional adalah kharismatis karena mereka mampu untuk mengartikulasikan visi masa depan yang terasa meyakinkan dan membentuk serta membangun kelekatan-kelekatan emosional dengan para pengikutnya. Akan tetapi, visi ini dan hubungan-hubungan ini disejajarkan dengan sistem-sistem nilai dari para pengikut dan menolong agar kebutuhan-kebutuhan mereka terpenuhi.
Seorang pemimpin kharismatis yang bukan sekaligus seorang pemimpin transformasional dapat menyampaikan suatu visi dan membentuk ikatan-ikatan emosional dengan para pengikutnya, namun dia melakukan semua itu guna pemenuhan kebutuhan dirinya. Baik pemimpin kharismatis maupun pemimpin transformasional berupaya untuk tercapainya perubahan dalam organisasi atau masyarakat. Perbedaannya adalah apakah perubahan tersebut adalah untuk kepentingan sang pemimpin atau kepentingan para pengikutnya?
Ada baiknya untuk dicatat, bahwa seorang pemimpin transformasional senantiasa merupakan seseorang yang kontroversial. Konflik mungkin timbul karena perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai yang dianut atau definisi-definisi terkait apa yang baik dalam arti sosial. Kontroversi ini juga timbul karena orang-orang yang berkemungkinan paling besar untuk merugi dalam sistem yang ada, merekalah yang paling kuat dalam hal resistensi atau melakukan perlawanan terhadap inisiatif perubahan transformasional.
Tingkat-tingkat emosional dari mereka yang melakukan resistensi terhadap gerakan perubahan transformasional seringkali sama tingginya atau bobotnya dengan orang-orang yang mendukung gerakan perubahan transformasional tersebut, dan hal ini dapat membantu menjelaskan bagaimana Mahatma Gandhi, John F. Kennedy, Martin Luther King, Jr. atau bahkan Yesus Kristus sampai mati dibunuh oleh lawan-lawan mereka.
Menurut Burns, para pemimpin transformasional selalu terlibat dalam konflik dan perubahan, dan mereka harus bersedia untuk merangkul konflik (artinya bukan malah menghindarkan/melarikan diri dari konflik), membuat musuh-musuh, menunjukkan suatu tingkat pengorbanan-diri yang tinggi, berkulit tebal (maksudnya nggak sensi!) dan senantiasa fokus dalam mewujudkan cita-cita mereka.
Uraian di atas mengenai kepemimpinan transformasional mengindikasikan :
"Adanya komitmen para pengikut (karyawati-karyawan atau konstituen) dalam konteks nilai-nilai yang disepakati bersama (shared values) dan suatu visi yang disepakati bersama (a shared vision)"
Hal ini secara khusus relevan dalam konteks manajemen perubahan (managing change). Manajemen perubahan menyangkut relasi saling-percaya antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya.
"Adanya komitmen para pengikut (karyawati-karyawan atau konstituen) dalam konteks nilai-nilai yang disepakati bersama (shared values) dan suatu visi yang disepakati bersama (a shared vision)"
Hal ini secara khusus relevan dalam konteks manajemen perubahan (managing change). Manajemen perubahan menyangkut relasi saling-percaya antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya.
Semoga bermanfaat
SALAM SUKSES
Sumber : kompasiana
EmoticonEmoticon